Kliping

Bocah Bantar Sungai Ciliwung Pun Ikut Ceria

Ismania (10) bergegas masuk ke ”lapangan hijau”. Lincah kaki siswi kelas V SD itu merebut bola dari penguasaan temannya yang mayoritas laki-laki. Di bantaran yang menjadi penjaga Sungai Ciliwung itu, para bocah ini mendapatkan tempat bermain.

d4a6df2a51604604be006800fc461519

Berlokasi di Pejaten Timur, Jakarta Selatan, anak-anak itu bermain sekehendak hati meskipun tetap menjaga agar tak mencederai teman. Satu tujuan mereka, memasukkan bola ke gawang. Ada yang asal tendang, ada yang memang lincah mengendalikan bola, tetapi ada juga yang asal ikut merebut bola seperti Ismania.

”Namanya juga mainan,” kata Ismania sambil tertawa dan ngeloyor keluar arena permainan bola yang hanya berukuran seperempat dari lapangan futsal, akhir Agustus lalu.

Pinjaman Online Baca juga: Erek erek 2d Bergambar Lengkap

Keceriaan anak-anak ini membuat penonton sesaat lupa bahwa kejadian itu berlangsung di Jakarta. Apalagi di kanan dan kiri, bahkan bantaran di seberangnya, masih hijau oleh pepohonan. Area bantaran pun terjaga dari hunian, dengan lebar 8 meter sampai 10 meter.

Sebelumnya, tempat bermain itu adalah tempat penimbunan sampah liar. Sejak petugas kebersihan Badan Air Dinas Kebersihan DKI Jakarta digerakkan tiga tahun lalu, tempat itu dibersihkan dari timbunan sampah dan alang-alang sehingga menjadi ruang terbuka untuk bermain anak-anak.

Tempat bermain itu juga dikelilingi jaring untuk menahan bola agar tak tercebur ke sungai. Anak-anak tak perlu mengejar bola ke sungai karena berbahaya bagi keselamatan mereka. Di sekitar lapangan bola mini itu juga terpasang perosotan dan ayunan. Beberapa komponen seperti tiang penyangga ayunan, terbuat dari barang bekas, termasuk dari sampah Sungai Ciliwung yang diangkut petugas kebersihan.

Ironi bantaran

Untuk menjangkau bantaran di Pejaten Timur itu tak mudah. Aksesnya hanya berupa gang sempit berkelok-kelok yang cukup dilalui satu sepeda motor. Sepanjang gang dipadati permukiman penduduk sehingga menghalangi pandangan langsung ke bantaran sungai. Hanya saat menyusuri Sungai Ciliwung memakai perahu karet, pemandangan anak-anak yang bermain sepak bola itu terlihat jelas.

Baca juga :  Bersama Warga, Bangkok Tata Kampung (2)

Ini adalah ironi yang dihadapi hampir setiap sungai di Jakarta. Ibu kota yang dilewati 13 sungai ini justru kesulitan menghadirkan wujud fisik sungai. Di kota ini, lebih mudah menyaksikan gedung bertingkat, jalan layang, dan pusat perbelanjaan. Sungai lebih lekat sebagai penyebab banjir dan kerap dipunggungi.

”Ini ironi kita. Punya banyak sungai, tetapi sulit untuk melihatnya,” kata Royani (62), pelestari Sungai Ciliwung yang juga Ketua Gerakan Masyarakat Bersih Sungai Ciliwung (Gema Bersuci) di Jakarta Selatan.

Bahkan, untuk memanfaatkan sungai-sungai itu tak lagi mudah karena sudah bertahun-tahun bantaran sungai di Jakarta menjadi tempat pembuangan sampah dibandingkan dengan ruang terbuka hijau. Limbah dari berbagai pabrik hingga industri skala rumah tangga juga memperparah kerusakan air sungai.

48d6a031fc194db68040284b05ee0fcc

Menjaga bantaran

Kekuatan menjaga sungai-sungai itu, menurut Royani, kini berada di bantaran. Dengan menjaga bantaran dari hunian, aliran sungai dapat dijaga dari sampah hingga limbah. Ikhtiar itu dimulai dengan menghidupkan bantaran sebagai ruang interaksi publik dan tempat warga mengenal lingkungan alam tempat tinggalnya.

Royani menghidupkan kegiatan pelestarian Sungai Ciliwung di RW 006, Pejaten Timur. Bantaran sepanjang 6 kilometer itu juga digunakan sebagai ruang publik sekaligus taman bermain dan tempat diskusi. Area itu pun ditanami pepohonan. Tersedia pula jalan setapak dengan paving block untuk joging dan jalan kaki.

Bersama komunitasnya, Royani saban dua kali sebulan membersihkan Ciliwung. Untuk membiayai kegiatan itu, Royani membuka tempat pemancingan di lahan miliknya dekat bantaran Ciliwung.

Kegiatan ini, menurut Royani, membuat warga memahami bahwa Sungai Ciliwung harus dijaga dan dilestarikan.

Kondisi bantaran pun berubah dibandingkan dengan lima tahun silam. Saat itu, area bantaran menjadi tempat pembuangan sampah. Atas inisiatif Royani, lahan itu dia beli dan digunakan untuk ruang terbuka sekaligus tempat komunitasnya menjaga Sungai Ciliwung.

Demikian pula bantaran sungai yang menjadi tempat bermain Ismania. Warga setempat berpartisipasi menjaga sungai dari perilaku jahil membuang sampah ke sungai. Namun, tempat bermain Ismania dijaga petugas Badan Air Dinas Kebersihan DKI yang juga warga setempat, Muawiyah (48).

Baca juga :  Palangkaraya Butuh Perencanaan Jangka Panjang untuk Jadi Ibu Kota Negara

Muawiyah mengatakan, sejak dibentuk petugas Badan Air pada 2013, bantaran sungai mulai berubah dari tempat pembuangan sampah menjadi tempat bermain anak-anak. ”Kami, kan, juga ditugasi mengawasi warga yang masih buang sampah di bantaran dan sungai,” katanya.

Warga setempat pun mulai meninggalkan kebiasaannya membuang sampah ke Sungai Ciliwung. Kiptiah (32), seorang warga, mengatakan memilih membuang sampah ke gerobak penampungan. ”Sekarang kalau buang sampah ke sungai difoto sama petugas, diancam denda Rp 500.000,” katanya.

Meskipun ikut menjaga kebersihan Sungai Ciliwung di bawah ancaman denda, Kiptiah merasakan bantaran Ciliwung kini jauh lebih nyaman. Warga pun mendapatkan lapangan bermain untuk anak, sesuatu yang langka bagi mereka yang tinggal di permukiman padat.

Sikap tak acuh warga terhadap kebersihan dan pemerintah yang abai selama bertahun-tahun membuat sampah menjadi sedimen sepanjang bantaran Sungai Ciliwung. Pemandangan dan pencemaran sungai itu mengurangi keasrian alam, semak belukar, dan cuitan burung yang masih ditemui di aliran sungai dari Depok hingga jembatan Kalibata.

Segelintir warga pun memanfaatkan keasrian itu sebagai wajah teras rumah. Andjela Napitupulu dan suaminya, Peter Hitipeuw, misalnya, membuat teras rumah menghadap ke Sungai Ciliwung.

Untuk menjaga teras rumah tetap bersih bukanlah perkara mudah. Sebab, setiap hari ada saja timbunan sampah yang tersangkut di tepian sungai di depan rumahnya. Bahkan, saat pertama sungai menempati rumah itu sekitar lima tahun lalu, teras rumahnya menjadi tempat pembuangan sampah warga sekitar. ”Warga masih menganggap sungai itu seperti tempat sampah. Beberapa sungai dalam sebulan, saya masih harus panggil pekerja untuk mengangkut sampah itu. Biayanya juga tak sedikit,” kata warga di Jalan Mustofa, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, itu.

Harus diakui, komunitas ataupun orang-orang yang peduli terhadap Sungai Ciliwung masih sedikit. Komunitas peduli Ciliwung di Jakarta, contohnya, hanya ada 22 kelompok. Masih lebih banyak warga yang tak peduli terhadap pelestarian sungai itu. Buktinya, aliran sungai itu masih dilalui sampah tiap hari.

Baca juga :  Cerita Djarot Usai Naiki Tangga Halte CSW Setinggi 23 Meter

Kesamaan bahasa

Menurut Royani, harus ada kesamaan bahasa dalam menjaga bantaran Sungai Ciliwung. Kelompok masyarakat ataupun warga yang selama ini menjaga Sungai Ciliwung harus dilibatkan secara aktif dalam menjaga bantaran dari sampah dan hunian. Sebab, dalam menjaga kebersihan Ciliwung tak bisa selamanya diserahkan kepada petugas kebersihan. ”Sekarang yang dibutuhkan adalah sinergi dan kesamaan bahasa menjaga Ciliwung,” ujar Royani.

Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane Teuku Iskandar mengatakan, pemerintah sedang membahas peraturan tentang area sempadan Sungai Ciliwung. Khusus untuk bantaran yang telah dipadati hunian, solusinya adalah relokasi dan bantaran dibeton agar permukiman di sekitarnya terlindung dari banjir dan longsor.

Untuk kawasan bantaran yang masih hijau, seperti di kawasan Condet di Jakarta Timur dan Pejaten di Jakarta Selatan, pemanfaatan kawasan bantaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan warga setempat. Oleh karena itu, peraturan tentang bantaran ini disusun per sungai untuk mengakomodasi dinamika masyarakat di sepanjang sungai yang sangat beragam. ”Jika warga menghendaki bantaran itu untuk arena bermain anak, bisa saja. Jika membutuhkan jalan inspeksi untuk alat berat, dapat dibangun agak jauh dari bantaran,” kata Iskandar.

Guru Besar Manajemen Sumberdaya Perairan Institut Pertanian Bogor Prof Sulistiono mengatakan, untuk membenahi semua sungai di Jakarta, diperlukan waktu setidaknya 20 tahun. Lima tahun pertama untuk penghijauan daerah hulu, lima tahun kedua pembangunan embung dan waduk untuk menampung aliran sungai, lima tahun ketiga untuk perbaikan saluran termasuk normalisasi sungai di hilir, serta lima tahun terakhir pembangunan waduk di hilir. ”Perlu sinergi antara daerah hulu dan hilir, mulai dari pemerintah hingga warga agar kualitas air sungai membaik,” tutur Sulistiono.

Sebagian warga sudah memulai menjaga sungai dengan berbagai cara. Meski pada akhirnya kita semua harus turut terlibat. Saat ini, yang dibutuhkan adalah akses dan ruang bagi warga untuk menjaga sungai itu agar tetap lestari.

Artikel terkait

Leave a Reply

Back to top button